Di era digital saat ini, peran buzzer dalam pilkada menjadi fenomena yang tak terelakkan. Buzzer, yang umumnya merupakan individu atau tim yang dibayar untuk mempromosikan suatu agenda atau individu secara daring, telah menjadi bagian integral dari strategi komunikasi politik. Dengan keahlian dalam memanfaatkan platform media sosial, buzzer dapat dengan cepat menyebarkan informasi, baik yang positif maupun negatif, terkait kandidat yang bersaing dalam pemilihan kepala daerah.
Salah satu peran buzzer dalam pilkada adalah sebagai penghubung informasi yang mengkontruksi persepsi publik. Strategi ini bekerja dengan cara menciptakan narasi yang menguntungkan salah satu kandidat melalui serangkaian petisi, tweet, postingan di Facebook, atau video pendek di platform seperti TikTok. Melalui pengulangan pesan yang konsisten, buzzer dapat mempengaruhi opini publik dan menciptakan kesan bahwa kandidat tertentu memiliki dukungan yang luas, meskipun jumlah pendukung di dunia nyata mungkin tidak sebanyak yang ditampilkan di media sosial.
Penggunaan buzzer dalam pilkada juga menjadi alat ampuh dalam merespons serangan politik. Dalam situasi di mana lawan politik meluncurkan kritik atau serangan negatif, buzzer dapat dengan cepat menyusun counter-narrative yang membela kandidat. Dengan cara ini, mereka menciptakan bangunan defensif yang melindungi citra kandidat dari serangan tersebut. Misalnya, mereka dapat menyebarkan informasi positif mengenai prestasi kandidat atau menyanggah tuduhan yang diajukan oleh lawan politik.
Buzzer dalam pilkada tidak hanya berfungsi sebagai penyebaran narasi positif, tetapi juga dapat berperan dalam menyebarkan berita bohong atau hoaks. Dalam dunia maya yang kurang terkontrol, informasi palsu dapat menyebar dengan sangat cepat. Kadang-kadang, buzzer dengan sengaja menciptakan konten yang menyesatkan untuk merusak reputasi kandidat lain. Ini bisa berupa berita palsu mengenai latar belakang, skandal, atau pandangan yang sangat kasar dari kandidat tersebut. Efeknya, masyarakat yang kurang teliti dalam menyaring informasi cenderung terpengaruh dan terbawa arus narasi yang tidak benar.
Penting untuk dicatat bahwa peran buzzer dalam pilkada tidak terbatas pada masyarakat umum. Mereka juga sering berafiliasi dengan media massa atau influencer yang memiliki jumlah pengikut yang besar. Dengan cara ini, informasi yang mereka sebarkan dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan memiliki dampak yang lebih signifikan. Biasanya, orang-orang ini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keputusan pemilih dengan cara yang sangat efektif.
Di samping itu, buzzer biasanya memanfaatkan algoritma media sosial untuk mengoptimalkan jangkauan konten mereka. Mereka memahami betul bahwa konten yang menarik dan relevan akan lebih mungkin muncul di halaman utama pengguna. Dengan menggunakan postingan yang menarik perhatian, meme, atau video pendek yang menghibur, buzzer dapat menciptakan keterlibatan yang tinggi dan pada akhirnya membentuk narasi yang diinginkan.
Peran buzzer dalam pilkada juga dapat menciptakan polarisasi di kalangan masyarakat. Dengan terus menerus mengulang narasi yang mendukung salah satu pihak, mereka dapat memperdalam perpecahan antara pendukung dan penentang, menjadikan ruang publik di dunia nyata semakin terfragmentasi.
Bagaimana peran buzzer dalam pilkada ini membawa dampak sosial yang cukup besar. Masyarakat sering kali terjebak dalam bubble informasi, di mana mereka hanya terpapar pada narasi yang sejalan dengan pandangan dan preferensi politik mereka. Hal ini berpotensi melemahkan dialog dan diskusi yang sehat di masyarakat, karena individu cenderung menutup diri terhadap sudut pandang yang berbeda.
Dengan segala dinamika yang ada, jelas bahwa buzzer memiliki pengaruh yang tidak bisa diabaikan dalam pembentukan narasi politik di dunia maya, terutama pada saat-saat penting seperti pilkada. Dunia politik kini tak hanya bertarung di arena fisik, tetapi juga dalam ruang digital yang semakin mendominasi cara orang mendapatkan informasi.