Dalam era digital yang serba cepat ini, informasi menjadi komoditas yang sangat berharga, khususnya dalam konteks politik. Di tengah maraknya pemilihan kepala daerah (Pilkada), muncul fenomena baru berupa “buzzer”. Buzzer pilkada, yang seringkali diupah untuk mempengaruhi opini publik melalui media sosial, menjadi salah satu alat utama dalam manipulasi informasi. Keberadaan buzzer pilkada dan framing media ini sering berkolaborasi dengan framing media untuk memengaruhi persepsi masyarakat mengenai calon-calon pemimpin.
Framing media adalah suatu teknik dimana informasi disajikan dengan cara tertentu agar mempengaruhi cara pandang masyarakat. Dalam konteks buzzer pilkada dan framing, media berperan sebagai perantara yang menyampaikan berbagai narasi yang sudah diatur sedemikian rupa. Misalnya, sebuah portal berita bisa memublikasikan artikel yang menonjolkan kelebihan atau kekurangan calon tertentu berdasarkan arahan dari buzzer. Kehadiran buzzer pilkada memberikan intensitas tertentu dalam penyebaran informasi, sehingga kemampuan mereka dalam mempengaruhi opini publik tidak bisa dipandang sebelah mata.
Berbagai teknik digunakan buzzer pilkada untuk mencapai tujuan mereka. Salah satunya adalah dengan menciptakan narasi yang mengombinasikan fakta dengan opini yang bias. Melalui tweet, postingan Instagram, dan bahkan konten video di platform-platform seperti TikTok, mereka menyebarkan pesan-pesan tertentu yang bertujuan meredam atau memperkuat pandangan masyarakat tentang calon tertentu. Dalam hal ini, framing media berperan penting karena media bisa memilih dan menentukan bagaimana sebuah berita disajikan, sehingga bisa membuat sebuah cerita menjadi lebih menarik atau bahkan lebih menyesatkan.
Buzzer pilkada juga sering berkolaborasi dengan influencer yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Influencer ini, dengan basis pengikut yang besar, dapat dengan mudah menyebarluaskan pesan-pesan yang telah dibentuk melalui framing media. Hal ini membuat potensi manipulasi informasi semakin besar, karena pesan-pesan tersebut dapat dianggap lebih valid ketika disampaikan oleh seseorang yang dianggap terpercaya oleh audiensnya.
Tak hanya itu, dalam era digital ini, algoritma media sosial juga berkontribusi dalam memperkuat efek manipulasi informasi. Konten-konten yang mendapat banyak interaksi, baik dari buzzer pilkada maupun dari pengguna lain, akan lebih sering muncul di timeline, sehingga membuat masyarakat semakin terpapar pada narasi tertentu. Dengan demikian, framing media menjadi semakin kuat, karena audiens hanya melihat perspektif yang sama berulang kali, yang pada gilirannya bisa memengaruhi cara mereka berpikir dan mengambil keputusan dalam Pilkada.
Di sisi lain, para buzzer pilkada ini dapat beroperasi secara anonim atau dengan identitas yang tidak jelas, sehingga sulit untuk mengidentifikasi siapa yang berada di balik penyebaran informasi tersebut. Ini menambah kompleksitas dalam upaya untuk mendeteksi aktivitas yang tidak etis dalam dunia politik. Framing media yang dibangun bisa berlangsung tanpa pertanggungjawaban yang jelas, sehingga masyarakat harus lebih waspada dalam menyerap informasi.
Keberadaan buzzer pilkada dan framing media memberikan tantangan bagi masyarakat dalam menelaah informasi. Dalam konteks pemilu yang demokratis, penting bagi masyarakat untuk berpikir kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya. Dengan menyadari praktik manipulasi ini, masyarakat diharapkan dapat lebih bijak dalam memilih pemimpin dan tidak terjebak dalam permainan politik yang mengandalkan buzzer dan framing media.